Biografi Lengkap Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional - Ki Hajar Dewantara merupakan Tokoh Pendidikan Indonesia yang selalu dikenang sepanjang masa. Perjuangan Ki Hajar Dewantara di bidang pendidikan terhadap masyarakat pribumi di masa pemerintahan kolonial Belanda sangatlah besar. Atas kontribusinya yang luar biasa di bidang pendidikan tersebut, maka beliau mendapatkan julukan sebagai Bapak Pendidikan Nasional.
Di dalam mengenang perjuangan Ki Hajar Dewantara, maka setiap tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Dipilihnya tanggal 2 Mei tersebut, sesuai dengan tanggal kelahiran beliau, yaitu 2 Mei 1889.
Biografi Ki Hajar Dewantara
Nama Ki Hajar Dewantara sendiri sudah tidak asing bagi bangsa Indonesia. Sejak jaman Sekolah Dasar, beliau sudah diperkenalkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.
Biografi Ki Hajar Dewantara juga ada dimana-mana, baik di buku, artikel, maupun internet. Bahkan wajah beliau pernah ditempatkan dalam uang kertas dua puluh ribu rupiah pada tahun 1998.
Berikut ini profil biografi Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional.
- Nama Lengkap : Raden Mas Soewardi Soerjaningrat
- Nama Panggilan : Ki Hadjar Dewantara
- Tempat, Tanggal Lahir : Yogyakarta, 2 Mei 1889
- Wafat : 26 April 1959 (usia 69 tahun)
- Orang Tua: Pangeran Soerjaningrat dan Raden Ayu Sandiah
- Saudara : Soerjopranoto
- Istri : Nyi Sutartinah
- Anak : Ratih Tarbiyah, Syailendra Wijaya, Bambang Sokowati Dewantara, Subroto Aria Mataram, Sudiro Alimurtolo.
Beliau lahir di Kota Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Ki Hajar Dewantara terlahir dari keluarga bangsawan. Ki Hajar Dewantara merupakan putra dari GPH Soerjaningrat, yang merupakan cucu dari Pakualam III.
Mulai Bersekolah
Karena terlahir dari keluarga bangsawan, maka Ki Hajar Dewantara berhak memperoleh pendidikan, sebagaimana anak kaum bangsawan lainnya pada waktu itu. Beliau pertama kali bersekolah di ELS, sebuah sekolah dasar khusus untuk anak-anak Belada dan kaum bangsawan. Selesai sekolah di ELS, Ki Hajar Dewantara melanjutkan pendidikan di STOVIA, sekolah yang dibuat untuk pendidikan dokter para penduduk pribumi di kota Batavia.
Ki Hajar Dewantara tidak bisa menamatkan sekolah di STOVIA, karena pada waktu itu beliau menderita sakit.
Menjadi Wartawan
Ki Hajar Dewantara muda sangat tertarik dengan dunia jurnalistik. Kecintaannya dengan jurnalistik, beliau buktikan dengan bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar, antara lain Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara.
Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai wartawan yang handal dalam menulis. Gaya penulisan Ki Hajar Dewantara juga cenderung tajam, mencerminkan semangat anti kolonial.
Gaya penulisan Ki Hadjar Dewantara pun cenderung tajam mencerminkan semangat anti kolonial. Beliau pernah membuat sebuah tulisan yang menyulut kemarahan pemerintah kolonial Belanda.
… Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya – Ki Hadjar Dewantara.
Akibat tulisan tersebut, KI Hajar Dewantara kemudian ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka. Pengasingan ke Pulau Bangka tersebut atas permintaan beliau sendiri. Pengasingan tersebut mendapatkan protes dari kedua rekan organisasinya, yaitu Douwes Dekker dan Dr. Tjipto Mangunkusumo yang kemudian ketiganya dikenal sebagai Tiga Serangkai. Ketiganya selanjutnya diasingkan oleh pemerintah kolonial ke negeri Belanda.
Masuk Organisasi Budi Utomo
Selain aktif sebagai wartawan, Ki Hajar Dewantara juga aktif dalam organisasi politik. Berdirinya organisasi Budi Utomo sebagai organisasi sosial politik pada tahun 1908, mendorong Ki Hajar Dewantara untuk ikut bergabung dengan organisasi tersebut.
Ki Hajar Dewantara berperan sebagai propaganda untuk menyadarkan masyarakat pribumi tentang pentingnya semangat persatuan sebagai bangsa Indonesia. Di dalam sebuah catatan biografi Ki Hajar Dewantara, Kongres Budi Utomo pertama kali yang diadakan di Yogyakarta diorganisir sendiri oleh Ki Hajar Dewantara.
Selama di Pengasingan
Selama di pengasingan Belanda pada tahun 1913, bersama dengan kedua rekannya (Douwes Dekker dan Dr. Tjipto Mangunkusumo) Ki Hajar Dewantara kemudian mendirikan sebuah organisasi bernama Indische Parti atau Perhimpunan Hindia. Anggota dari Perhimpunan Hindia adalah pelajar yang berasal dari Indonesia.
Pada tahun yang sama, Ki Hajar Dewantara juga mendirikan sebuah kantor berita, yaitu Indonesiach pers bureau atau Kantor Berita Indonesia.
Di pengasinganya di Belanda, Ki Hajar Dewantara memiliki cita-cita untuk memajukan kaum pribumi. Beliau kemudian berhasil memperoleh ijasah pendidikan cukup bergengsi di Belanda yang dikenal dengan nama Europeesche Akte. Ijazah tersebut membantu Ki Hajar Dewantara untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang akan dibuat di Indonesia. Di negara Belanda, beliau juga mendapatkan pengaruh dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.
Pada tahun yang sama, Ki Hadjar Dewantara kemudian mempersunting seorang wanita keturunan bangsawan yang bernama Raden Ajeng Sutartinah yang merupakan putri paku alaman, Yogyakarta.
Dari pernikahannya dengan R.A Sutartinah, beliau kemudian dikaruniai dua orang anak bernama Ni Sutapi Asti dan Ki Subroto Haryomataram.
Selama di pengasingannya, istrinya selalu mendampingi dan membantu segala kegiatan KI Hajar Dewantara, terutama dalam bidang pendidikan.
Kembali Ke Indonesia dan Mendirikan Taman Siswa
Pada tahun 1919, Ki Hajar Dewantara kembali ke Indonesia. Beliau selanjutnya langsung bergabung sebagai guru di sekolah yang didirikan oleh saudaranya.
Pengalaman mengajar yang diterima di sekolah tersebut digunakan Ki Hajar Dewantara untuk membuat sebuah konsep baru mengenai metode pengajaran pada sekolah yang beliau dirikan sendiri pada tanggal 3 Juli 1922. Sekolah yang didirikan Ki Hajar Dewantara tersebut bernama Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa, yang kita kenal sebagai Taman Siswa.
Tepat pada usia 40 tahun, beliau secara resmi mengubah namanya dari Raden Mas Soewardi Soerjaningrat menjadi Ki Hajar Dewantara dan tidak lagi memakai gelar kebangsawanan di depan nama barunya. Tujuan mengganti nama tersebut adalah agar beliau dapat selalu dekat dengan rakyat pribumi pada waktu itu.
Ki Hajar Dewantara juga membuat semboyan yang sampai saat ini dijadikan sebagai pedoman dalam dunia pendidikan Indonesia, yaitu :
- Ing ngarso sung tulodo (di depan memberi contoh).
- Ing madyo mangun karso (di tengah memberi semangat).
- Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan).
Pengabdian Setelah Indonesia Merdeka
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Ki Hajar Dewantara kemudian diangkat sebagai Menteri Pengajaran Indonesia oleh Presiden Soekarno.
Pada tahun 1957, beliau mendapatkan gelar doktor kehormatan dari Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya di dalam merintis pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara selanjutnya diberikan gelar sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan tanggal kelahiran beliau, yaitu 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan nasional.
Pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang Pendidikan
Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai tokoh nasional yang memiliki peran penting terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia. Beberapa pemikiran beliau tentang pendidikan sangat berpengaruh terhadap sistem pendidikan di Indonesia, bahkan sampai sekarang.
Berikut ini beberapa pemikiran KI Hajar Dewantara tentang pendidikan di Indonesia.
Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa pendidikan adalah tentang bagaimana cara warga negara dalam meneruskan warisan budaya kepada generasi muda dengan tetap mempertahankan tatanan sosialnya.
“Pendidikan adalah tempat persemaian segala benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan. Jadi nantinya segala macam unsur peradaban akan tetap tumbuh dan diteruskan kepada anak cucunya.” – Ki Hajar Dewantara.
Ki Hajar Dewantara sangat menghargai pluralisme (kemajemukan) dan memiliki pemikiran tentang pendidikan yang futuristik. Sistem pendidikan yang digagas beliau adalah sistem pendidikan yang tanggap dan mampu menjawab tantang global dengan menerapkan asas kontinuitet, konvergensi, dan konsentris. Asas tersebut selanjutnya digunakan untuk mengubah paradigma dalam menyikapi kemajemukan budaya.
“Pendidikan nasional harus berdasarkan pada garis hidup bangsanya dan ditujukan untuk keperluan peri kehidupan, sehingga nantinya hal tersebut dapat mengangkat derajat negeri dan juga rakyatnya. Sehingga dengan kedudukan yang sejajar nantinya pantas untuk bekerjasama dengan negara-negara yang lain untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia.” - Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara juga memandang penting tentang budi pekerti. Menurut beliau, pendidikan ala barat memang hanya berorientasi pada intelektualitas, materialisme dan juga individualisme saja, tetapi tidak dengan budi pekerti dan memang kurang cocok dengan kebutuhan atau corak dari bangsa Indonesia.
KI Hajar Dewantara juga memikirkan bahwa pendidikan tidak cukup hanya untuk membuat anak menjadi pintar dalam aspek kognitif. Pendidikan harus menjadikan anak untuk mampu mengembangkan seluruh potensi yang ada, seperti daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif) dan juga daya karsa (koatif).
Dengan cara tersebut, akan membuat anak menjadi sosok yang mandiri dan memiliki kepedulian terhadap orang lain, bangsa dan juga kemanusiaan.
Demikian biografi lengkap Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional. Semoga bermanfaat.